HUKUM PERJANJIAN
DISUSUN OLEH :
SYIFA NAFISAH
ZAHRA
2A214628
KELAS 2EB24
MATA KULIAH :
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
DOSEN : MUTHIYA
GABRIELA MALAWAT, SE., MMSI
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2016
Perjanjian
adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli
hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat
sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat
timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai
sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri
satu sama lain.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian
harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para
pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama
merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara
para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu
timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur
paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat
berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut
dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan
kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap
berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut
pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang
belum dewasa dan mereka yang berada dibawah
pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu
perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu
disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus
memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka
objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang
dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat
pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat
subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan
perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat
diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif,
yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut
dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian
telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian,
maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Asas-asas perjanjian
Asas-asas perjanjian diatur dalam
KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam
membuat perjanjian: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda),
asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of
contract)
Setiap orang dapat
secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan
tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti
perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya,
yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya,
serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi)
dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Jika terjadi sengketa
dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji
(wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang
melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian – bahkan
hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan
pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum.
3. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme
berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata
sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi
formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal
undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian,
misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan
yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4. Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder
trouw)
Itikad baik berarti
keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur,
terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari
oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian
berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak
mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya
dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam
membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi
mereka yang membuatnya.
Berakhirnya perjanjian
1. Sesuai dengan ketentuan perjanjian itu
sendiri
2. Atas persetujuan kemudian yang dituangkan
dalam perjanjiantersendiri.
3. Akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu
tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar
pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.
Kesimpulan
Dari apa yang di
terangkan diatas dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian
abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu
peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang di kehendaki oleh dua
orang pihak yang membuat suatu perjanjian yang mereka buat merupakan
undang-undang bagi mereka untuk dilaksanakan.
Referensi :
http://www.scribd.com/doc/13273745/HUKUM-PERJANJIAN
http://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/
http://legalakses.com/category/artikel/hukum-perjanjian-artikel/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar